Rabu, 09 Juli 2014

بسم الله الرحمن الرحيم

Kehidupan kita sebagai khalifah di bumi menjadikan kita selalu untuk berusaha dan berbuat kebajikan. Namun dalam kehidupan kita sebagai khilafah dalam perputaran zaman terkdang kita berada dalam posisi yang tidak diinginkan. Terkadang berada di bawah terkadang di atas laksana roda yang terus berputar.
Ketika kita mulai kehilangan arah, ketika kita mulai kehilangan semangat menimba llmu, ketika kita mulai kehilangan kesabaran, ketika kita mulai kehilangan keistiqomahan dalam beramal sholeh…. 
Ingatlah ini :
إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا (٢) إِنَّ الإنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ   (١) وَالْعَصْرِ   (٣) بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
Surat Al’ Ashr 1-3
“Demi Masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal sholeh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”
dan..
Rasulullah bersabda
“Tidak akan melangkah kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat hingga ditanya empat perkara. Usianya, untuk apa dia habiskan. Masa mudanya, bagaimana ia habiskan. Hartanya, dari mana ia dapatkan dan pada jalan apa dia keluarkan. Serta ilmunya, apa yang telah ia perbuat dengannya.” (HR. Al Bazzar dan Thobroni).


Jangan anda menyerah dan putus asa dalam kehidupan . Tetaplah optimis akan masa depan.
Karena Allah membenci orang-orang yang berputus asa. Berdo'a. Berusaha, Istiqomah, Tawakal yang disertai rasa syukur atas nikmatNya
Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum jika tidak merubahnya sendiri.

Sabtu, 05 Juli 2014

Ibu Andin Vita Amalia, M.Sc ( Genetika )



Tugas Kuliah

PENGARUH DOSIS EKSTRAK REBUNG
BAMBU BETUNG (Dendrocalamus asper Backer ex Heyne)
TERHADAP PERTUMBUHAN HIDROPONIK SELADA
( Lactuca sativa L )





F MIPA - UNMA










DISUSUN OLEH :
RIKI RIKARDO
NIM : G.15.11.0011






DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAAS MATHLA’UL ANWAR BANTEN
2014


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Permintaan akan komoditas hortikultura terutama sayuran terus meningkat seiring dengan meningkatnya kesejahteraan dan jumlah penduduk. Menurut hasil survai BPS (2001), konsumsi sayuran di Indonesia meningkat dari 31,790 kg pada tahun 1996 menjadi 44,408 kg per kapita per tahun pada tahun 1999. Hasil survai tersebut juga menyatakan bahwa semakin tinggi pengeluaran konsumen, semakin tinggi pengeluaran untuk sayuran per bulannya dan semakin mahal harga rata-rata sayuran per kilogramnya yang mampu dibeli oleh konsumen. Artinya bahwa selain kuantitas, permintaan sayuran juga meningkat secara kualitas. Hal ini membuka peluang pasar terhadap peningkatan produksi sayuran, baik secara kuantitas maupun kualitas. Namun di lain pihak, pengembangan komoditas sayuran secara kuantitas dan kualitas dihadapkan pada semakin sempitnya lahan pertanian yang subur, terutama di Pulau Jawa. Sampai saat ini, kebutuhan konsumen terhadap sayuran yang berkualitas tinggi belum dapat dipenuhi dari sistem pertanian konvensional.
Salah satu cara untuk menghasilkan produk sayuran yang berkualitas tinggi secara kontinyu dengan kuantitas yang tinggi per tanamannya adalah budidaya dengan sistem hidroponik. Pengembangan hidroponik di Indonesia cukup prospektif mengingat beberapa hal sebagai berikut, yaitu permintaan pasar sayuran berkualitas yang terus meningkat, kondisi lingkungan/ iklim yang tidak menunjang, kompetisi penggunaan lahan, dan adanya masalah degradasi tanah.
Kendala pada sistem pertanian konvensional di Indonesia terjadi karena Indonesia merupakan negara tropis dengan kondisi lingkungan yang kurang menunjang seperti curah hujan yang tinggi. Kondisi tersebut dapat mengurangi keefektifan penggunaan pupuk kimia di lapangan karena pencucian hara tanah, sehingga menyebabkan pemborosan dan Kendala pada sistem pertanian konvensional di Indonesia terjadi karena Indonesia merupakan negara tropis dengan kondisi lingkungan yang kurang menunjang seperti curah hujan yang tinggi. Kondisi tersebut dapat mengurangi keefektifan penggunaan pupuk kimia di lapangan karena pencucian hara tanah, sehingga menyebabkan pemborosan dan mengakibatkan tingkat kesuburan tanah yang rendah dengan produksi yang rendah secara kuantitas maupun kualitas. Suhu dan kelembaban udara tinggi sepanjang tahun cenderung menguntungkan perkembangan gulma, hama, dan penyakit. Di dataran tinggi, masalah erosi tanah dan persistensi organisme pengganggu tanaman (OPT) merupakan faktor pembatas produktivitas tanaman petani.
Selain hal-hal tersebut, meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan ketersediaan lahan pertanian semakin sempit karena digunakan untuk perumahan dan perluasan perkotaan. Hal ini mempersulit pencapaian peningkatan produksi sayuran karena keterbatasan lahan pertanian.
Budidaya dengan sistem hidroponik telah dikenal dan dikem-bangkan secara komersial pada awal tahun 1900-an di Amerika Serikat. Di Indonesia, kultur hidroponik telah mulai mendapat perhatian masyarakat dan berkembang sejak tahun delapan puluhan, yang dimulai oleh beberapa pengusaha di daerah perkotaan.
 Untuk itu berbagai usaha untuk mempercepat pertumbuhan bibit banyak dilakukan antara lain dengan menggunakan pupuk atau zat pengatur tumbuh (ZPT). Sampai dengan saat ini penggunaan ZPT sebagai upaya meningkatkan kualitas pertumbuhan, baik ZPT alami maupun buatan (sintesis) masih menjadi kebutuhan penting dalam perlakuan terhadap tanaman.
Bambu merupakan salah satu hasil hutan non kayu yang mempunyai peranan sangat penting bagi kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya
masyarakat di Jawa. Penggunaan bambu tidak hanya sebagai bahan bangunan, tetapi juga untuk keperluan lain seperti kerajinan, alat musik, alat dapur dan pada beberapa jenis bambu yang masih muda (rebung) dapat juga dikonsumsi. Rebung juga sebagai makanan penting di Indonesia dan China yang dalam prosesnya harus direbus dan menghasilkan limbah air rebung yang mungkin mengandung ZPT. Pertumbuhan ruas bambu yang begitu cepat diduga mengandung zat pengatur tumbuh, terutama pada fase rebung. Diharapkan air ekstrak rebung bambu dapat dimanfaatkan untuk memacu pertumbuhan bibit selada. (Laila, 2004).

1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dosis ekstrak rebung bambu betung (Dendrocalamus asper) terhadap pertumbuhan hidroponik selada (Lactuca sativa L).

1.3 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengetahui pengaruh zat ekstraktif rebung bambu betung (Dendrocalamus asper) terhadap pertumbuhan hidroponik selada (Lactuca sativa L)









BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PRINSIP-PRINSIP TEKNIK HIDROPONIK
2.1.1 Unsur-Unsur Penting
Tanaman membutuhkan 16 unsur hara/nutrisi untuk pertumbuhan yang berasal dari udara, air dan pupuk. Unsur-unsur tersebut adalah karbon (C), hidrogen (H), oksigen (O), nitrogen (N), fosfor (P), kalium (K), sulfur (S), kalsium (Ca), besi (Fe), magnesium (Mg), boron (B), mangan (Mn), tembaga (Cu), seng (Zn), molibdenum (Mo) dan khlorin (Cl). Unsur-unsur C, H dan O biasanya disuplai dari udara dan air dalam jumlah yang cukup. Unsur hara lainnya didapatkan melalui pemupukan atau larutan nutrisi.
Unsur-unsur nutrisi penting dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok berdasarkan kecepatan hilangnya dari larutan (Bugbee 2003). Kelompok pertama adalah unsur-unsur yang secara aktif diserap oleh akar dan hilang dari larutan dalam beberapa jam yaitu N, P, K dan Mn. Kelompok kedua adalah unsur-unsur yang mempunyai tingkat serapannya sedang dan biasanya hilang dari larutan agak lebih cepat daripada air yang hilang (Mg, S, Fe, Zn, Cu, Mo, Cl). Kelompok ketiga adalah unsur-unsur yang secara pasif diserap dari larutan dan sering bertumpuk dalam larutan (Ca dan B). N, P, K, dan Mn harus tetap dijaga pada konsentrasi rendah dalam larutan untuk mencegah akumulasi yang bersifat racun bagi tanaman. Konsentrasi yang tinggi dalam larutan dapat menyebabkan serapan yang berlebihan, yang dapat mengakibatkan ketidakseimbangan hara. Nitrogen mempunyai pengaruh yang paling besar terhadap pertumbuhan, hasil, dan kualitas tanaman sayuran (Kim 1990). N untuk larutan hidroponik disuplai dalam bentuk nitrat. N dalam bentuk ammonium nitrat mengurangi serapan K, Ca, Mg, dan unsur mikro. Kandungan amonium nitrat harus di bawah 10 % dari total kandungan nitrogen pada larutan nutrisi untuk mempertahankan keseimbangan pertumbuhan dan menghindari penyakit fisiologi yang berhubungan dengan keracunan amonia. Konsentrasi fosfor yang tinggi menimbulkan defisiensi Fe dan Zn (Chaney dan Coulombe 1982), sedangkan K yang tinggi dapat mengganggu serapan Ca dan Mg.
Unsur mikro dibutuhkan dalam jumlah kecil sebagai nutrisi untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Selain itu juga penting untuk meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan penyakit atau hama. Menurut Bugbee (2003), kekurangan Mn menyebabkan tanaman mudah terinfeksi oleh cendawan Pythium. Tembaga (Cu) dan seng (Zn) dapat menekan pertumbuhan mikrobia, tetapi pada konsentrasi agak tinggi menjadi racun bagi tanaman. Silikon juga bermanfaat untuk ketahanan tanaman meskipun tidak dikenal sebagai unsur esensial, yaitu dapat melindungi dari serangan hama dan penyakit dan melindungi dari keracunan logam berat .

2.1.2 Formula Nutrisi dan Cara Aplikasinya
Suplai kebutuhan nutrisi untuk tanaman dalam sistem hidroponik sangat penting untuk diperhatikan. Dua faktor penting dalam formula larutan nutrisi, terutama jika larutan yang digunakan akan disirkulasi (“closed system”) adalah komposisi larutan dan konsentrasi larutan (Bugbee 2003). Kedua faktor ini sangat menentukan produksi tanaman. Setiap jenis tanaman, bahkan antar varietas, membutuhkan keseimbangan jumlah dan komposisi larutan nutrisi yang berbeda.
Beberapa faktor penting dalam menentukan formula nutrisi hidroponik adalah :
1) garam yang mudah larut dalam air;
2) kandungan sodium, khlorida, amonium dan nitrogen organik, atau unsur-unsur yang tidak dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman harus diminimalkan;
3) komposisi digunakan bahan yang bersifat tidak antagonis satu dengan yang lainnya; dan
4) dipilih yang ekonomis.

Dari beberapa pustaka banyak dijumpai berbagai macam formula larutan nutrisi untuk kultur hidroponik, seperti larutan Hoagland, larutan Schippers, larutan Marvel dan sebagainya. Kebutuhan larutan nutrisi baik komposisi maupun konsentrasinya yang dibutuhkan tanaman akan sangat bervariasi tergantung pada jenis tanaman, fase pertumbuhan serta kondisi lingkungannya (Marvel 1974). Menurut Chong dan Ito (1982), suhu larutan pada sistem NFT (“Nutrient Film Technique”) mempengaruhi jumlah larutan nutrisi yang dikonsumsi oleh tanaman tomat. Dalam keadaan suhu kamar di musim panas, pemberian larutan nutrisi sebanyak 2 liter per tanaman per hari pada fase reproduktif cukup memadai untuk tanaman tomat.
Selanjutnya aplikasi larutan nutrisi pada kultur hidroponik secara prinsip juga tergantung pada metode yang akan diterapkan. Beberapa metode tersebut antara lain adalah sebagai yang tertera pada uraian berikut ini (Jensen 1990).
1. Kultur pot atau polybag. Dengan metode ini sistem pemberian larutan nutrisi dapat dilakukan secara manual atau irigasi tetes (“drip irrigation”) dengan frekuensi 3-5 kali per hari, tergantung pada kebutuhan tanaman, macam media tumbuh, dan cuaca/kondisi lingkungan. Sistem irigasi tetes lebih mudah, menghemat tenaga dan waktu, tetapi kendalanya adalah saluran irigasi sering tersumbat sehingga aliran nutrisi terhambat.
2. Kultur bedeng dengan sistem NFT. Sistem pemberian larutan nutrisi yang digunakan adalah melalui perputaran aliran larutan nutrisi yang dibantu oleh pompa mesin atau dapat pula menggunakan cara yang lebih sederhana (tanpa pompa) yaitu menggunakan gaya grafitasi.
Tabel 1. Jenis garam yang rekomendasikan untuk pembuatan larutan nutrisi hidroponik

Nama unsur
Sumber garam
Kandungan
Nitrogen


Fosfor


Kalium
Magnesium
Kalsium

Sulfur

Besi

Mangan
Boron

Seng

Tembaga

Molibdenum
Kalsium nitrat
Kalium nitrat
Amonium nitrat
Monokalium fosfat
Kalium nitrat
Monokalium fosfat
Kalium sulfat
Magnesium sulfat
Kalsium nitrat
Kalsium klorida
Magnesium sulfat
Kalium sulfat
Fe-EDTA
Fe-EPTA
Mangan sulfat
Asam borat
Sodium borat (Borax)
Zinc sulfat
Zinc EDTA
Copper sulfat
Copper EDTA
Amonium molibdat
15.5 % N
(1 % NH4-N)
13 % N
33 % N
21 % P
37 % K
25 % K
40 % K
10 % Mg
20 % Ca
36 % Ca
13 % S
18 % S
6-14 % Fe
-
24 % Mn
18 % B
11 – 14 % B
23 % Zn
*%
25 % Cu * %
48 % Mo
Keterangan : *% = seperti pada Fe-EDTA sangat bervariasi
Sumber: Anonim (2014)

2.1.3. EC dan pH Larutan
Kunci utama dalam pemberian larutan nutrisi atau pupuk pada sistem hidroponik adalah pengontrolan konduktivitas elektrik atau “electro conductivity” (EC) atau aliran listrik di dalam air dengan menggunakan alat EC meter. EC ini untuk mengetahui cocok tidaknya larutan nutrisi untuk tanaman, karena kualitas larutan nutrisi sangat menentukan keberhasilan produksi, sedangkan kualitas larutan nutrisi atau pupuk tergantung pada konsentrasinya.
Semakin tinggi garam yang terdapat dalam air, semakin tinggi EC-nya. Konsentrasi garam yang tinggi dapat merusak akar tanaman dan mengganggu serapan nutrisi dan air (Hochmuth dan Hochmuth 2003). Setiap jenis dan umur tanaman membutuhkan larutan dengan EC yang berbeda-beda. Kebutuhan EC disesuaikan dengan fase pertumbuhan, yaitu ketika tanaman masih kecil, EC yang dibutuhkan juga kecil. Semakin meningkat umur tanaman semakin besar EC-nya.
Toleransi beberapa tanaman sayuran terhadap EC larutan berlainan. Tanaman tomat tahan terhadap garam yang agak tinggi di daerah perakaran, sedangkan mentimun sedikit tahan. Untuk mendapatkan hasil yang baik, larutan nutrisi untuk tomat perlu dipertahankan pada keadaan EC antara 2,0 –3,0 mhos/cm (van Pol 1984). Konsentrasi garam yang tinggi pada fase akhir pertumbuhan tanaman tomat akan meningkatkan kualitas buah (total padatan terlarut) tanpa mengurangi produksi.
Kebutuhan EC juga dipengaruhi oleh kondisi cuaca, seperti suhu, kelembaban, dan penguapan. Jika cuaca terlalu panas, sebaiknya digunakan EC rendah. Selain EC, pH juga merupakan faktor yang penting untuk dikontrol. Formula nutrisi yang berbeda mempunyai pH yang berbeda, karena garam-garam pupuk mempunyai tingkat kemasaman yang berbeda jika dilarutkan dalam air. Garam garam seperti monokalium fosfat, tingkat kemasamannya lebih rendah daripada kalsium nitrat ( Bugbee 2003).
Untuk mendapatkan hasil yang baik, pH larutan yang direkomen-dasikan untuk tanaman sayuran pada kultur hidroponik adalah antara 5,5 sampai 6,5 (Marvel 1974). Ketersediaan Mn, Cu, Zn, dan Fe berkurang pada pH yang lebih tinggi, dan sedikit ada penurunan untuk ketersediaan P, K , Ca dan Mg pada pH yang lebih rendah. Penurunan ketersediaan nutrisi berarti penurunan serapan nutrisi oleh tanaman.














Tabel 2 Menyajikan kebutuhan EC dan pH bagi beberapa tanaman sayuran.

Jenis sayuran
EC (mS/cm)
pH
Brokoli
Kacang-kacangan
Tomat
Brussel sprouts
Radish
Bawang merah
Turnip
Kubis bunga
Mentimun
Bawang daun
Labu
Bayam
3,0 – 3,5
2,0 –4,0
2,0 – 5,0
2,5 – 3,0
1,4 – 1,8
2,0 – 3,0
1,8 – 2,4
1,5 – 2,0
1,0 – 2,5
2,0 – 3,0
1,7 – 2,6
1,4 – 1,8
6,0 – 6,5
6,5
6,0
6,5
6,5
6,0
6,0
5,5 – 6,6
6,5
6,5
5,5
6,5
Sumer. Anonom,2014

2.2. Media Pertumbuhan
Seperti yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, hidroponik merupakan teknologi penanaman dalam larutan nutrisi (air dan pupuk) dengan atau tanpa penggunaan media buatan untuk mendukung perakaran tanaman (Jensen 1990). Media hidroponik dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu kultur air yang tidak menggunakan media pendukung lain untuk perakaran tanaman dan kultur substrat atau agregat yang menggunakan media padat untuk mendukung perakaran tanaman.

2.2.1. Kultur Air
Pada dasarnya kultur air merupakan sistem tertutup (“closed system”) di mana akar tanaman terekspos larutan nutrisi tanpa media tanaman dan larutan disirkulasi. Ada beberapa macam sistem hidroponik cair atau kultur air, yaitu Nutrient Film Technique (NFT), Dynamic Root Floating (DRF), the Deep Flow Technique (DFT) dan Aeroponic (Jensen 1990; Jensen dan Collins 1985; Kao 1990). Namun kultur air yang paling mudah untuk diadopsi oleh para pengguna adalah NFT (Raffar 1990; Chow 1990). Kultur tersebut juga banyak digunakan oleh para pengusaha di Indonesia.
Nutrient Film Technique dikembangkan oleh Dr. Allen Cooper pada tahun 1970 di Inggris, yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas sayuran sepanjang tahun. Pada sistem ini, lapisan tipis larutan nutrisi mengalir melalui bedengan atau talang yang berisi akar-akar tanaman. Larutan bersirkulasi secara terus menerus selama 24 jam atau diatur pada waktu-waktu tertentu dengan pengatur waktu. Sebagian akar tanaman terendam dalam larutan nutrisi tersebut, sebagian lagi berada di atas permukaan larutan. Lingkungan akar yang ideal merupakan faktor penting dalam peningkatan produksi tanaman.
Menurut Chow (1990) dan Jensen (1990), keuntungan NFT antara lain adalah volume larutan hara yang dibutuhkan lebih rendah dibandingkan kultur air lainnya, lebih mudah mengatur suhu di sekitar perakaran tanaman (menaikkan atau menurunkan suhu), lebih mudah mengontrol hama dan penyakit, kepadatan tanaman per unit area lebih tinggi, dan hasil tanaman lebih bersih karena tidak ada sisa tanah atau media lainnya. Namun, ada juga kerugian dari sistem ini, yakni patogen dengan mudah menyebar pada seluruh larutan, sehingga dalam waktu yang singkat tanaman akan mati, modal awal relatif lebih mahal, pemilihan komoditas yang bernilai tinggi, dan tingkat keahlian dan pengetahuan tentang ilmu kimia sangat penting.
Di daerah tropis, panjang maksimum bak penanaman yang digunakan pada NFT tidak lebih dari 15-20 m, sepanjang saluran tersebut dibuat 2-3 tempat untuk memasukkan larutan hara, dan suhu larutan tidak lebih dari 30 °C. Hal ini untuk menjaga aerasi larutan yang baik (Jensen 1990). Hasil penelitian di Malaysia melaporkan bahwa penggunaan PVC sebagai bak penanaman tidak cocok untuk daerah tropis, karena menyebabkan suhu perakaran mencapai lebih dari 40 °C pada tengah hari (Chow 1990). Bahan yang paling baik adalah bambu dengan “styrofoam” sebagai penutup permukaan bak.

2.2.2. Kultur Substrat atau Agregat
Kultur substrat atau agregat adalah kultur hidroponik dengan menggunakan media tumbuh yang bukan tanah sebagai pegangan tumbuh akar tanaman dan mediator larutan hara. Pada umumnya, pemberian larutan dilakukan dengan sistem terbuka (“open system”), artinya larutan yang diberikan ke tanaman tidak digunakan lagi (Kultur ini merupakan sistem yang paling mudah diadopsi selain sistem NFT (Raffar 1990) dan tampaknya merupakan salah satu sistem yang banyak dikembangkan para petani/pengusaha agrobisnis di Indonesia. ( Sapto Wibowo dan Arum Asriyanti S, 2013 )
Beberapa pakar hidroponik mengemukakan bahwa media pertumbuhan seperti pasir, kerikil, batuan alam, arang sekam, atau batu apung dapat digunakan. Di Amerika banyak digunakan media gravel, perlite, rockwool, pasir, serbuk gergaji, peat moss atau vermikulit (Douglas 1985; Jensen 1990; Resh 1985). Beberapa persyaratan penting bagi media pertumbuhan ini antara lain adalah bertekstur seragam dengan ukuran butir sedang, bersih dari kotoran, dan steril (Resh 1985; Douglas 1985). Bentuk karakteristik media tersebut akan berpengaruh terhadap hasil dan kualitas serta terhadap kebutuhan larutan hara tanaman. Oleh karena itu pemilihan media yang tepat dapat meningkatkan produksi sayuran.
Di Indonesia, media agregat yang baik dan murah adalah arang sekam. Media ini sudah banyak digunakan oleh para petani hidroponik maupun pengusaha hidroponik yang besar. Selain arang sekam, pasir juga sangat baik untuk media hidroponik. Harga pasir lebih mahal tetapi umur penggunaannya lebih lama. Menurut Jensen (1975), hasil penelitian pada tomat media pasir juga menunjukkan keunggulan yang lebih baik daripada “rockwool”. Campuran pasir dengan “peat moss”, vermikulit, arang sekam, dan perlite juga menghasilkan pertumbuhan tomat yang baik.

2.3 Selada (Lactuca sativa L)
Selada (Lactuca sativa L.) merupakan sayuran daun yang berumur semusim dan termasuk dalam famili compositae. Selada tumbuh baik di dataran tinggi, pertumbuhan optimal di lahan subur yang banyak mengandung humus, pasir atau lumpur.dengan pH tanah 5-6,5 Di dataran
rendah kropnya kecil-kecil dan cepat berbunga. Waktu tanam terbaik pada akhir musim hujan, walaupun demikian dapat ditanam pada musim kemarau dengan pengairan atau penyiraman yang cukup.
Menurut para vegetarian, manfaat sayur tidak hanya membuat tubuh sehat karena tidak terjadi timbunan lemak hewan, tetapi juga berkhasiat untuk menghaluskan kulit. Sebagian besar tanaman sayur yang tersedia dipasar merupakan produk budidaya pertanian moderen yang dari segi kesehatan sebenarnya kurang layak untuk dikonsumsi.( Syafri Edi & Ahmad Yusri, 2009)
Keberhasilan budidaya tanaman selada dikendalikan oleh faktor-faktor pertumbuhan yang meliputi faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman selada, salah satunya ialah tingkat kerapatan tanaman. Tingkat kerapatan tanaman perlu diatur agar tidak mengganggu pertumbuhan tanaman. Perbedaan jarak tanam menyebabkan pertumbuhan dan hasil yang berbeda, karena dengan penerapan jarak tanam yang terlalu rapat dapat menimbulkan kompetisi antar tanaman. Kompetisi terjadi untuk memperoleh kebutuhan hidup tanaman seperti cahaya matahari, nutrisi, air dan ruang tumbuh. Penggunaan jarak tanam yang tepat dapat meningkatkan produksi per satuan luas.
Faktor genetik yang mempengaruhi ialah jenis kultivar yang ditanam. Kultivar mempengaruhi hasil panen tanaman selada per satuan luas lahan. Potensi hasil panen maksimal dapat tercapai apabila kultivar yang digunakan dapat beradaptasi dengan baik terhadap lingkungannya. Kondisi lingkungan yang beragam memerlukan penerapan teknologi budidaya yang spesifik dalam meningkatkan produksi tanaman. Penerapan teknologi yang banyak digunakan ialah tingkat kerapatan tanaman dengan jarak tanam yang disesuaikan dengan karakteristik kultivar yang digunakan.( Nujulul, 2009 ).
2.3.1 Botani Tanaman
Klasifikasi tanaman selada ( Lactuca sativa L ) adalah sebagai berikut:

Kingdom        : Plantae
Divisio            : Spermatophyta
Subdivisio     : Angiospermae
Kelas              : Dicotyledoneae
Ordo                : Asterales
Famili                         : Asteraceae
Genus            : Lactuca
Spesies          : Lactuca sativa L.

Tanaman selada memiliki sistem perakaran tunggang dan serabut. Akar serabut menempel pada batang, tumbuh menyebar, ke semua arah pada kedalaman 20-50 cm atau lebih. Sebagian besar unsur hara yang dibutuhkan tanaman diserap oleh akar serabut. Sedangkan akar tunggangnya tumbuh lurus ke pusat bumi (Rukmana, 1994).
Daun selada memiliki bentuk, ukuran dan warna yang beragam, bergantung varietasnya. Daun selada krop berbentuk bulat dengan ukuran daun yang lebar, berwarna hijau terang dan hijau agak gelap. Daun selada memiliki tangkai daun lebar dengan tulang daun menyirip. Tangkai daun bersifat kuat dan halus. Daun bersifat lunak dan renyah apabila dimakan, serta memiliki rasa agak manis. Daun selada umumnya memiliki ukuran panjang 20-25 cm dan lebar 15 cm (Wicaksono, 2008).
Tanaman selada memiliki batang sejati. Batang selada krop sangat pendek dibanding dengan selada daun dan selada batang. Batangnya hampir tidak terlihat dan terletak pada bagian dasar yang berada di dalam tanah. Diameter batang selada krop juga lebih kecil yaitu berkisar antara 2-3 cm dibanding dengan selada batang yang diameternya 5,6-7 cm dan selada daun yang diameternya 2-3 cm (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998).

2.3.2 Teknologi Budidaya
2.3.2.1. Benih
Jenis selada yang banyak dibudidayakan :
a.    Selada mentega disebut juga dengan selada bokor atau selada daun, bentuk kropnya bulat tapi lepas.
b.    Selada (heading lettuce) atau selada korp, bentuk korp bulat dan lonjong, kropnya padat atau kompak.
c.    Kebutuhan benih + 400 g biji / hektar.

2.3.2.2. Pengolahan Lahan
Lahan terlebih dahulu dicangkul sedalam 20-30 cm supaya gembur. Selanjutnya dibuat bedengan membujur dari Barat ke Timur, untuk mendapatkan cahaya penuh. Lebar bedengan 100 cm, tinggi 30 cm dan panjang sesuai lahan. Jarak antar bedeng 30 cm. Lahan yang asam (pH rendah) lakukan pengapuran dengan kapur kalsit atau dolomit. (Syafri Edi & Ahmad Yusri, 2009)
Selada dapat tumbuh di dataran tinggi maupun dataran rendah. Namun, hampir semua tanaman selada lebih baik diusahakan di dataran tinggi. Pada penanaman di dataran tinggi, selada cepat berbunga. Suhu optimum bagi pertumbuhannya adalah 15-20o C.
Daerah - daerah yang dapat ditanami selada terletak pada ketinggian 5-2.200 meter di atas permukaan laut. Selada krop biasanya membentuk krop bila ditanam di dataran tinggi, tapi ada beberapa varietas selada krop yang dapat membentuk krop di dataran rendah seperti varietas great lakes dan Brando.
Tingkat kemasaman tanah (pH) yang ideal untuk pertumbuhan selada adalah berkisar antara 6,5-7. Pada tanah yang terlalu asam, tanaman ini tidak dapat tumbuh karena keracunan Mg dan Fe.( USU )



2.3.2.3. Persemaian
a.    Biji dapat langsung ditanam di lapangan, tetapi lebih baik disemaikan.
b.    Sebelumnya, benih direndam dalam air hangat (50ºC) selama satu malam atau dalam larutan Previcur N ( 0,1 %) selama + 2 jam kemudian dikeringkan.
c.    Benih disebar merata pada bedengan persemaian dengan media campuran tanah dan pupuk kandang/kompos (1:1), kemudian ditutup dengan daun pisang selama 2-3 hari dan diberi naungan/atap
d.    Setelah berumur 7-8 hari, bibit dipindahkan ke dalam bumbunan yang terbuat dari daun pisang/pot plastik dengan media yang sama. (Syafri Edi & Ahmad Yusri, 2009)

2.3.2.4. Penanaman
Setelah berumur 3-4 minggu atau sudah memiliki 4-5 helai daun tanaman dapat dipindahkan ke bedengan yang sudah dipersiapkan dengan jarak tanam 20 x 20 cm atau 25 x 25 cm. (Syafri Edi & Ahmad Yusri, 2009)

2.3.2.5. Pemupukan
a.    3 hari sebelum tanam berikan pupuk kandang kotoran ayam 20.000 kg/ha atau pupuk kompos organik hasil fermentasi (kotoran ayam yang telah difermentasi) dengan takaran 4 kg/m2.
b.    Pada umur 2 minggu setelah tanam lakukan pemupukan susulan Urea 150 kg/ha (15 gr/m2) agar pemberian pupuk lebih merata pupuk Urea diaduk dengan pupuk organik kemudian diberikan secara larikan disamping barisan tanaman.
c.    Selanjutnya dapat ditambahkan pupuk cair 3 liter/ha (0,3 ml/m2) pada umur 10 dan 20 hari setelah tanam.

2.3.2.6. Pemeliharaan
Penyiraman dilakukan tiap hari sampai selada tumbuh normal, kemudian diulang sesuai kebutuhan. Jika ada tanaman yang mati, segera disulam sebelum tanaman berumur 15 hari. Penyiangan dan pendangiran dilakukan bersamaan dengan waktu pemupukan pertama dan kedua.

2.3.2.7. Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT)
Penyakit yang sering menyerang tanaman selada yaitu bercak hitam daun dan cacar daun. Hama yang sering ditemui adalah ulat daun, belalang, dan nyamuk kecil bila keadaan lembab. Pengendalian hama dapat dilakukan secara mekanik yaitu dipungut dengan tangan, jika terpaksa gunakan pestisida yang aman mudah terurai seperti pestisida biologi, pestisida nabati atau pestisida piretroid sintetik.
Penggunaan pestisida tersebut harus dilakukan dengan benar baik pemilihan jenis, takaran, volume semprot, cara aplikasi, interval dan waktu aplikasinya. (Edi, Syafri & Ahmad Yusri, 2009)

2.3.2.8. Panen
Selada dapat dipanen setelah berumur + 2 bulan, dengan mencabut batang tanaman atau memotong pangkal batang. Tanaman yang baik dapat menghasilkan + 15 ton/ha.

2.3.2.9. Pasca Panen
Untuk menjaga kualitasnya, dengan cara merendam bagian akar tanaman dalam air dan pengiriman produk secepat mungkin. (Syafri Edi & Ahmad Yusri, 2009)

2.4 Zat Pengatur Tumbuh
Zat pengatur tumbuh (ZPT) dapat diartikan sebagai senyawa organic selain zat hara yang dalam jumlah sedikit mendukung, menghambat maupun merubah berbagai proses fisiologis tanaman. ZPT adalah salah satu bahan sintesis atau hormon tumbuh yang mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman melalui pembelahan sel, perbesaran sel. Pengaturan pertumbuhan ini dilaksanakan dengan cara pembentukan hormon-hormon, mempengaruhi system hormon, perusakan translokasi atau dengan perubahan tempat pembentukan hormon (Hartmann dan Kester 1983). ZPT di dalam tanaman terdiri dari 5 kelompok Auksin, Gibberalin, Sitokinin, Ethylene dan Inhibitor (Abidin 1984). Hormon yang dihasilkan oleh tanaman disebut fitohormon sedangkan yang sintetis disebut ZPT (Wattimena1988).
                                                                            
2.4.1 Dendrocalamus asper (schult-f) Backer ex Heyne ( Bambu Betung)
Bambu adalah sekelompok tumbuhan yang dicirikan oleh buluh yang berkayu mempunyai ruas-ruas dan buku-buku. Termasuk dalam suku rumputrumputan (Graminae) anak suku Bambusideae (Farelly 1984 diacu dalam Elida 2002). Benton (1970) diacu dalam Elida (2002) berpendapat bahwa, bagian dalam batang bambu tersusun dari senyawa silika yang amorf yang mempunyai sifatsifat sebagai katalis dalam reaksi kimia tertentu. Bambu betung dalam bahasa Inggris disebut juga Giant bamboo, awi betung (Sunda), buluh batung (Batak), juga dikenal dengan nama daerah Batuang Gadang. Tersebar di Sumatera, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Seram dan Papua. Di Jawa, bambu betung dapat ditanam di dataran rendah sampai ketinggian 2000 m diatas permukaan laut.
Bambu dapat tumbuh pada banyak jenis tanah, namun akan lebih baik pada tanah berat dengan drainase yang baik. Menurut Heyne (1987) diacu dalam Ruhiyat (1998) bambu betung mempunyai rumpun yang agak rimbun, tinggi buluhnya mencapai 30 m, diameter 8,5 – 20 cm. Buku-bukunya membengkak, dengan panjang 40-60 cm dan tebal dinding antara 1-1,5 cm. Bambu ini banyak digunakan untuk kontruksi bangunan,
tempat air dan bumbung untuk menampung nira. Tunas muda atau rebung mempunyai rasa manis, dan banyak dibuat untuk sayur.
2.4.2.1 Batang, Pelepah Batang dan Daun
Type simpodial, merumpun yang terdiri dari beberapa batang saja, batang tegak dengan ujung melengkung. Tinggi 20-30 m, diameter 8-20 cm, tebal 11-3 mm. Panjang ruas 10-20 cm (bagian bawah) sampai 30-50 cm (bagian atas). Buku-bukunya menggelembung, buku dekat pangkal batang mempunyai akar udara. Batang muda berbulu warna coklat keemasan. Ukuran 20-40 cm X 20-25 cm, bagian bawah sangat kecil, tertutup bulu cokelat tua sampai cokelat muda, pelepah melancip keujung (lanceolate), lidah pelepah batang (ligule) panjang 10 cm. Helaian daun ukuran 30 cm X 2,5 cm, bagian dasar pendek, membesar diatas, berbulu, lidah daun pendek, tidak mempunyai telinga daun (auricle).
Bambu betung memiliki potensi ekonomi dan kegunaan yang banyak di masyarakat Indonesia. Batang bambu betung baik untuk furniture dan industry chopstick. Batang bambu betung sangat tebal dan kuat sehingga sering dipakai sebagai bahan bangunan atau jembatan. Ruas dari buku bagian atas yang panjang dipakai sebagai tempat nira juga tempat menanak nasi atau daging seperti didaerah Sarawak. Di Thailand Dendrocalamus asper dikenal dengan sebutan “sweet bamboo” rebung mudanya sangat manis dan tebal, dapat dikonsumsi sebagai sayuran dan acar (Dransfield dan Widjaja, 1995).

2.4.2.2 Rebung
Rebung adalah nama umum bagi terubus bambu yang baru tumbuh dan berasal dari batang bawah. Rebung yang baru keluar berbentuk lonjong, kokoh, dan terbungkus dalam kelopak daun yang rapat dan bermiang (duri-duri halus) banyak. Selama musim hujan, rebung bambu tumbuh dengan pesatnya, dalam beberapa minggu saja tunas tersebut sudah sudah tinggi. Dalam waktu 9-10 bulan rebung telah mencapai tinggi maksimal 25-30cm. Beberapa jenis rebung terbentuk pada permulaan musim hujan, selain itu ada yang terbentuk pada akhir musim hujan. Musim panen rebung biasanya jatuh sekitar bulan desember hingga februari atau maret.
Pada tahap awal rebung terlihat pendek, terbungkus dalam pelepah batang yang rapat dan bermiang dengan warna miang coklat sampai kehitaman. Rebung tumbuh cepat menjadi batang bambu muda selama musim hujan. Setelah mencapai pertumbuhan maksimum, seludang buluh membuka dan diikuti dengan tumbuhnya primordial tunas lateral sebagai bakal cabang. Percabangan tumbuh mulai dari 1/3 buku bagian atas diikuti percabangan dibagian tengah buluh terus ke bagian bawah, percabangan bambu betung termasuk kelompok banyak cabang (bud multiple branching), (McClure 1967 diacu dalam Ruhiyat 1998) yang dapat
mencapai 10-20 anak cabang dalam satu buku. Mata cabang dalam buluh terdiri dari mata cabang yang besar di bagian tengah (central bud) dan kelompok mata cabang yang lebih kecil di kiri kanannya.
Rebung bambu merupakan makanan khas dari Asia Bagian Timur. Rebung Bambu muda memiliki bentuk seperti taring badak. Beberapa rebung diantaranya dapat dikonsumsi manusia, namun ada juga yang tidak bisa dikonsumsi manusia karena memiliki rasa pahit seperti rebung dari bambu apus. Menurut Winarno (1992) diacu dalam Salahudin (2004) jenis rebung bambu apus dapat menyebabkan orang menjadi mabuk karena mengandung kadar asam sianida yang tinggi.
Beberapa jenis rebung juga mengandung senyawa toksik sianida dalam bentuk glukosida. Bila senyawa ini bereaksi dengan air maka akan terbentuk asam sianida. Asam sianida dapat dikeluarkan dari rebung mentah dengan merusak jaringan rebung melalui proses pemasakan (Yaguchi dan Wu 1971 diacu dalam Salahudin 2004). Kadar asam sianida dalam rebung dapat mencapai 800 mg setiap 100 gram (Wogan 1976 diacu dalam Salahudin 2004). Rasa pahit mungkin berhubungan dengan kandungan glukosida tersebut.


2.4.2.3 Komposisi Kimia Rebung Bambu Betung
Komposisi rebung mentah per 100 gram bagian yang dapat dimakan dapat dilihat pada Tabel 3. Sebagian besar dari bagian yang dapat diamakan terdiri dari air yaitu 91 gram, selain itu rebung juga mengandung protein 2,6 gram, karbohidrat 5,20 gram, lemak 0,90 gram, serat kasar 1,00 gram, vitamin A 20 SI, kalium 533 mg, fosfor 53 mg, abu 0,90 mg serta unsur-unsur mineral lain seperti riboflavin, niasin, thiamin, kalsium, dan besi dalam jumlah kecil (Watt dan Merill 1975 diacu dalam Salahudin 2004).

Tabel 3. Komposisi rebung mentah per 100 gram bagian yang dapat dimakan

Komposisi
Jumlah
Protein (gram)
2,60
Kalori (cal)
27,00
Lemak (gram)
0,30
Karbohidrat (gram)
5,20
Serat (gram)
1,00
Air (gram)
91,00
Fosfor (mg)
59,00
Kalsium (mg)
13,00
Besi (mg)
0,50
Abu (gram)
0,90
Kalium (mg)
533,00
Vitamin A (SI)
20,00
Thiamin (mg)
0,15
Riboflavin (mg)
0,70
Niasin (mg)
0,60
Vitamin B1 (mg)
0,15
Vitamin C (mg)
4,00
Sumber : Watt dan Merill (1975)

Pada rebung, kandungan serat berbeda pada setiap bagiannya. Bagian atas kandungan seratnya lebih kecil dibandingkan pada bagian bawah. Tetapi kandungan kimia seperti protein, lemak dan mineral pada bagian atas lebih tinggi dari pada bagian bawah (Tabel 4).


Tabel 4 Persentase komposisi rebung bagian atas, tengah dan bawah yang dapat dimakan.

Bagian
Air
Protein
Lemak
Serat
Karbohidrat
Abu
Atas
89,7
2,72
0,28
0,42
5,50
1,39
Tengah
91,26
1,71
0,22
0,89
4,78
1,12
Bawah
90,26
1,38
0,17
1,25
5,65
0,93
Sumber : Kurosawa, 1969

Bagian tengah, atas dan bawah memiliki histologis yang berbeda. Bagian ujung atas mengandung lemak 800 mg/100gram rebung segar. Asam lemak utama adalah palmitat, linolenat dan linoleat. Asam organik dalam rebung bambu dari jenis Dendrocalamus asper adalah asam oksalat yaitu 462 mg/100mg pada bagian dasarnya. Asam sitrat lebih banyak di bagian atas sedangkan bagian bawah banyak mengandung asam malat.


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Mathla’ul Anwar Banten. Pelaksanaan penelitian dilakukan selama 2 bulan, dimulai dari bulan September sampai dengan bulan November 2014.

3.2 Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil arang sekam, rebung bambu betung yang didapat dari hutan di daerah Sobang, dan benih selada yang diperoleh dari pasar Sobang. Peralatan yang digunakan selama penelitian berlangsung adalah karung, polybag, blender, saringan, timbangan analitik, alat tulis, label, cangkul, thermometer, ayakan, pisau, sprayer, kompor gas, panci, ember, gelas ukur, corong, dan kamera digital.

3.3 Metode Penelitian
Penelitian ini meliputi berbagai tahapan seperti diuraikan di bawah ini.

3.3.1 Penyiapan Benih Selada
Benih selada yang digunakan dalam penelitian ini, diperoleh dari pasar Sobang Banyaknya benih yang digunakan disesuaikan dengan sample yang dibutuhkan.

3.3.2 Pengecambahan Benih
Benih selada yang diperoleh dari pasar Sobang direndam dalam air hangat selama selama 24 jam.
Sebelum ditabur ke bak kecambah, benih dicuci bersih dengan air dingin agar bersih dari bakteri atau kotoran lainnya. Media pertumbuhan yang digunakan adalah arang sekam yang sudah diayak dan telah dijemur dibawah terik sinar matahari. Benih ditabur pada media arang sekam, lalu diamati pertumbuhannya selama  2 Bulan.
.
3.3.3 Penyiapan Media Sapih
Polybag berukuran 15 cm x 20 cm diisi arang sekam. Setelah semua media tumbuh terisi tanah dilakukan penyiraman agar kelembaban arang sekam dapat terjaga.

3.3.4 Penyiapan Zat Ekstraktif Rebung
Rebung sebanyak satu kilogram dicacah, kemudian ditambahkan dengan 1 liter air dan direbus hingga matang. Rebung matang dan air rebung di blender serta ditambahkan 1 liter air matang, setelah itu diperas dan dilakukan penyaringan dengan menggunakan saringan untuk memisahkan air ekstrak rebung dengan limbah padat. Larutan air ekstrak rebung bambu betung yang diperoleh sebanyak 2,2 liter yang kemudian digunakan sebagai bahan dasar untuk penyiraman sesuai dengan dosis perlakuan.

3.3.5 Penyapihan
Setelah kecambah berumur 7-8 hari, kemudian dilakukan penyapihan pada media tumbuh yang berisi tanah sub soil. Bibit selada siap diberi perlakuan seminggu setelah penyapihan.

3.3.6 Pemberian Air Ekstrak Rebung
Bibit sengon disiramkan air ekstrak rebung bambu betung dengan dosis 0 ml/bibit sebagai kontrol, 10 ml/bibit, 20 ml/bibit, 30ml/bibit, 40ml/bibit, dan 50 ml/bibit per bibit pada setiap taraf perlakuan. Penyiraman tersebut dilakukan setiap minggu selama dua bulan penelitian.

3.3.7 Pemeliharaan
Pemeliharaan dilakukan untuk memberikan kondisi yang baik bagi tanaman selada dalam proses pertumbuhan. Kegiatan yang dilakukan yaitu penyiraman dan pengendalian hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan 2 kalisehari yaitu pagi dan sore. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan satu minggu sekali dengan membersihkan media tumbuh dan mengamati kesehatan tanaman selada.

3.3.8 Pengamatan dan Pengambilan Data
Pengukuran tinggi dilakukan setiap seminggu sekali selama tiga bulan dengan menggunakan penggaris 30 cm. Pengukuran tinggi dimulai dari pangkal/leher akar sampai titik tumbuh. Pengukuran diameter dilakukan pada awal dan akhir penelitian dengan menggunakan kaliper Nisbah Pucuk Akar (NPA) ditentukan dengan membandingkan berat kering bagian semai di atas tanah dan akar semai.
Pengukuran nisbah pucuk akar dilakukan dengan mengambil sampel pucuk dan akar semai dengan cara mengoven semai yang telah dipisah pucuk dan akar pada suhu 700 C selama 72 jam kemudian dilakukan penimbangan. Berat Kering Total (BKT) merupakan gabungan berat kering pucuk dan akar.

3.4 Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 6 perlakuan, ulangan 3 kali, dan setiap unit perlakuan terdapat 10 bibit. Sehingga secara keseluruhan terdapat 180 bibit sengon. Perlakuan yang digunakan adalah dosis ekstrak rebung bambu : A0 = 0 ml (kontrol) ; A1 = 10 ml ; A2 = 20 ml ; A3 = 30 ml ; A4 = 40 ml ; A5 = 50 ml.
Model persamaan umum rancangan penelitian ini adalah sebagai berikut (Mattjik dan Sumertajaya, 2000).


Yij = μ + τi + εij


Keterangan :
Yij = Nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
μ = Rataan umum
τi = Pengaruh perlakuan ke-i
εij = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke-j

Hipotesis dalam uji F adalah sebagai berikut :
H0 : perlakuan tidak berpengaruh terhadap parameter yang diamati
H1 : perlakuan berpengaruh terhadap parameter yang diamati
Pengambilan keputusan terhadap uji F adalah :
Fhitung > Ftabel tolak H0
Fhitung < Ftabel terima H0

Untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang diberikan terhadap peubah yang diamati, maka dilakukan analisis data dengan menggunakan program Minitab versi 13 dan program SAS 9. Apabila pengaruh yang  diberikan menunjukkan perbedaan yang nyata maka dilanjutkan uji lanjut Duncan.







DAFTAR PUSTAKA


Bugbee, B. 2003. Nutrient management in recirculating hydroponik culture. Paper presented at The South Pacific Soil-less Culture Conference, Feb 11, 2003 in Palmerston North, New Zealand
Edi, Syafri dan Ahmad Yusri. 2009. Budidaya Selada Semi Organik. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian.Jambi

Kristanti, D.F. 2004. Pengaruh Pemberian Dosis Pupuk Azolla terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Selada Merah (Lactuca sativa L. var. crispa). Skripsi. Jur. Budidaya Pertanian. Fak. Pertanian. Univ. Brawijaya. Malang

Laila D. 2004. Dampak Pemberian Air Laut Terhadap Pertumbuhan Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen ) pada Media Tanah Gambut Tanpa Bakar dan Terbakar [skripsi]. Bogor. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Rohmah, Nuzulul. 2009. Respon Tiga Kultivar Selada (Lactuca sativa l.) Pada Tingkat Kerapatan Tanaman Yang Berbeda.Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang

Rosliani, Rini dan Nani Sumarni.2005. Budidaya Tanaman Sayuran dengan Sistem Hidroponik. Balai Penelitian Tanaman Sayuran  Pusat Penelitian Dan Pengembangan Hortikultura  Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian. Bandung

Siregar M dan Hartuningsih. 1995. Bambu betung (Dendrocalamus asper (schultesf.) Bakerex Heyne). Vol.1 No.12. Lembaran Informasi Prosea-Yayasan Prosea,Bogor Indonesia

Surtinah.2009. The Extention Of Super Natural Nutrition ( SNN ) The Organic Fertilizer To Lettuce ( Lactuca sativa, L ) at Ultisol Soil.  Jurnal Ilmiah Pertanian Vol. 6. Halaman 20-25. Fakultas Pertanian Unilak Pekanbaru


Wibowo, Sapto dan Arum Asriyanti S.2013. Application of NFT Hydroponic on Cultivation of Pakcoy (Brassica rapa chinensis). Jurnal Penelitian Pertanian Terapan Vol. 13 (3): 159-167. Program Studi Agroteknologi Politeknik Banjarnegara. Banjarnegara