PENGARUH DOSIS EKSTRAK REBUNG
BAMBU BETUNG (Dendrocalamus
asper Backer ex Heyne)
TERHADAP PERTUMBUHAN HIDROPONIK SELADA
( Lactuca
sativa L )
DISUSUN OLEH :
RIKI RIKARDO
NIM : G.15.11.0011
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAAS MATHLA’UL ANWAR BANTEN
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Permintaan akan komoditas
hortikultura terutama sayuran terus meningkat seiring dengan meningkatnya
kesejahteraan dan jumlah penduduk. Menurut hasil survai BPS (2001), konsumsi
sayuran di Indonesia meningkat dari 31,790 kg pada tahun 1996 menjadi 44,408 kg
per kapita per tahun pada tahun 1999. Hasil survai tersebut juga menyatakan
bahwa semakin tinggi pengeluaran konsumen, semakin tinggi pengeluaran untuk
sayuran per bulannya dan semakin mahal harga rata-rata sayuran per kilogramnya
yang mampu dibeli oleh konsumen. Artinya bahwa selain kuantitas, permintaan
sayuran juga meningkat secara kualitas. Hal ini membuka peluang pasar terhadap
peningkatan produksi sayuran, baik secara kuantitas maupun kualitas. Namun di
lain pihak, pengembangan komoditas sayuran secara kuantitas dan kualitas
dihadapkan pada semakin sempitnya lahan pertanian yang subur, terutama di Pulau
Jawa. Sampai saat ini, kebutuhan konsumen terhadap sayuran yang berkualitas
tinggi belum dapat dipenuhi dari sistem pertanian konvensional.
Salah satu cara untuk
menghasilkan produk sayuran yang berkualitas tinggi secara kontinyu dengan
kuantitas yang tinggi per tanamannya adalah budidaya dengan sistem hidroponik.
Pengembangan hidroponik di Indonesia cukup prospektif mengingat beberapa hal
sebagai berikut, yaitu permintaan pasar sayuran berkualitas yang terus
meningkat, kondisi lingkungan/ iklim yang tidak menunjang, kompetisi penggunaan
lahan, dan adanya masalah degradasi tanah.
Kendala pada sistem
pertanian konvensional di Indonesia terjadi karena Indonesia merupakan negara
tropis dengan kondisi lingkungan yang kurang menunjang seperti curah hujan yang
tinggi. Kondisi tersebut dapat mengurangi keefektifan penggunaan pupuk kimia di
lapangan karena pencucian hara tanah, sehingga menyebabkan pemborosan dan
Kendala pada sistem pertanian konvensional di Indonesia terjadi karena
Indonesia merupakan negara tropis dengan kondisi lingkungan yang kurang
menunjang seperti curah hujan yang tinggi. Kondisi tersebut dapat mengurangi
keefektifan penggunaan pupuk kimia di lapangan karena pencucian hara tanah,
sehingga menyebabkan pemborosan dan mengakibatkan tingkat kesuburan
tanah yang rendah dengan produksi yang rendah secara kuantitas maupun kualitas.
Suhu dan kelembaban udara tinggi sepanjang tahun cenderung menguntungkan
perkembangan gulma, hama, dan penyakit. Di dataran tinggi, masalah erosi tanah
dan persistensi organisme pengganggu tanaman (OPT) merupakan faktor pembatas
produktivitas tanaman petani.
Selain
hal-hal tersebut, meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan ketersediaan lahan
pertanian semakin sempit karena digunakan untuk perumahan dan perluasan
perkotaan. Hal ini mempersulit pencapaian peningkatan produksi sayuran karena
keterbatasan lahan pertanian.
Budidaya
dengan sistem hidroponik telah dikenal dan dikem-bangkan secara komersial pada
awal tahun 1900-an di Amerika Serikat. Di Indonesia, kultur hidroponik telah
mulai mendapat perhatian masyarakat dan berkembang sejak tahun delapan puluhan,
yang dimulai oleh beberapa pengusaha di daerah perkotaan.
Untuk itu berbagai usaha untuk
mempercepat pertumbuhan bibit banyak dilakukan antara lain dengan menggunakan
pupuk atau zat pengatur tumbuh (ZPT). Sampai dengan saat ini penggunaan ZPT
sebagai upaya meningkatkan kualitas pertumbuhan, baik ZPT alami maupun buatan
(sintesis) masih menjadi kebutuhan penting dalam perlakuan terhadap tanaman.
Bambu merupakan salah satu hasil hutan non
kayu yang mempunyai peranan sangat penting bagi kehidupan masyarakat Indonesia,
khususnya
masyarakat di Jawa. Penggunaan bambu tidak hanya sebagai bahan
bangunan, tetapi juga untuk keperluan lain seperti kerajinan, alat musik, alat
dapur dan pada beberapa jenis bambu yang masih muda (rebung) dapat juga
dikonsumsi. Rebung juga sebagai makanan penting di Indonesia dan China yang
dalam prosesnya harus direbus dan menghasilkan limbah air rebung yang mungkin
mengandung ZPT. Pertumbuhan ruas bambu yang begitu cepat diduga mengandung zat pengatur
tumbuh, terutama pada fase rebung. Diharapkan air ekstrak rebung bambu dapat
dimanfaatkan untuk memacu pertumbuhan bibit selada. (Laila, 2004).
1.2
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengaruh dosis ekstrak rebung bambu betung (Dendrocalamus asper)
terhadap pertumbuhan hidroponik selada (Lactuca sativa
L).
1.3
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
mengetahui pengaruh zat ekstraktif rebung bambu betung (Dendrocalamus asper)
terhadap pertumbuhan hidroponik selada (Lactuca sativa
L)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
PRINSIP-PRINSIP TEKNIK HIDROPONIK
2.1.1
Unsur-Unsur Penting
Tanaman membutuhkan 16 unsur
hara/nutrisi untuk pertumbuhan yang berasal dari udara, air dan pupuk.
Unsur-unsur tersebut adalah karbon (C), hidrogen (H), oksigen (O), nitrogen
(N), fosfor (P), kalium (K), sulfur (S), kalsium (Ca), besi (Fe), magnesium
(Mg), boron (B), mangan (Mn), tembaga (Cu), seng (Zn), molibdenum (Mo) dan
khlorin (Cl). Unsur-unsur C, H dan O biasanya disuplai dari udara dan air dalam
jumlah yang cukup. Unsur hara lainnya didapatkan melalui pemupukan atau larutan
nutrisi.
Unsur-unsur nutrisi penting
dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok berdasarkan kecepatan hilangnya dari
larutan (Bugbee 2003). Kelompok pertama adalah unsur-unsur yang secara aktif
diserap oleh akar dan hilang dari larutan dalam beberapa jam yaitu N, P, K dan
Mn. Kelompok kedua adalah unsur-unsur yang mempunyai tingkat serapannya sedang
dan biasanya hilang dari larutan agak lebih cepat daripada air yang hilang (Mg,
S, Fe, Zn, Cu, Mo, Cl). Kelompok ketiga adalah unsur-unsur yang secara pasif
diserap dari larutan dan sering bertumpuk dalam larutan (Ca dan B). N, P, K,
dan Mn harus tetap dijaga pada konsentrasi rendah dalam larutan untuk mencegah
akumulasi yang bersifat racun bagi tanaman. Konsentrasi yang tinggi dalam
larutan dapat menyebabkan serapan yang berlebihan, yang dapat mengakibatkan
ketidakseimbangan hara. Nitrogen mempunyai pengaruh yang paling besar terhadap
pertumbuhan, hasil, dan kualitas tanaman sayuran (Kim 1990). N untuk larutan
hidroponik disuplai dalam bentuk nitrat. N dalam bentuk ammonium nitrat
mengurangi serapan K, Ca, Mg, dan unsur mikro. Kandungan amonium nitrat harus
di bawah 10 % dari total kandungan nitrogen pada larutan nutrisi untuk
mempertahankan keseimbangan pertumbuhan dan menghindari penyakit fisiologi yang
berhubungan dengan keracunan amonia. Konsentrasi fosfor yang tinggi menimbulkan
defisiensi Fe dan Zn (Chaney dan Coulombe 1982), sedangkan K yang tinggi dapat
mengganggu serapan Ca dan Mg.
Unsur mikro dibutuhkan dalam
jumlah kecil sebagai nutrisi untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Selain
itu juga penting untuk meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan
penyakit atau hama. Menurut Bugbee (2003), kekurangan Mn menyebabkan tanaman
mudah terinfeksi oleh cendawan Pythium. Tembaga (Cu) dan seng (Zn) dapat
menekan pertumbuhan mikrobia, tetapi pada konsentrasi agak tinggi menjadi racun
bagi tanaman. Silikon juga bermanfaat untuk ketahanan tanaman meskipun tidak
dikenal sebagai unsur esensial, yaitu dapat melindungi dari serangan hama dan
penyakit dan melindungi dari keracunan logam berat .
2.1.2 Formula Nutrisi dan Cara
Aplikasinya
Suplai
kebutuhan nutrisi untuk tanaman dalam sistem hidroponik sangat penting untuk
diperhatikan. Dua faktor penting dalam formula larutan nutrisi, terutama jika
larutan yang digunakan akan disirkulasi (“closed system”) adalah komposisi
larutan dan konsentrasi larutan (Bugbee 2003). Kedua faktor ini sangat
menentukan produksi tanaman. Setiap jenis tanaman, bahkan antar varietas,
membutuhkan keseimbangan jumlah dan komposisi larutan nutrisi yang berbeda.
Beberapa
faktor penting dalam menentukan formula nutrisi hidroponik adalah :
1) garam yang mudah larut dalam air;
2) kandungan sodium, khlorida, amonium dan nitrogen organik,
atau unsur-unsur yang tidak dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman harus
diminimalkan;
3) komposisi digunakan bahan yang bersifat tidak antagonis
satu dengan yang lainnya; dan
4) dipilih yang ekonomis.
Dari beberapa pustaka banyak dijumpai berbagai macam
formula larutan nutrisi untuk kultur hidroponik, seperti larutan Hoagland,
larutan Schippers, larutan Marvel dan sebagainya. Kebutuhan larutan nutrisi
baik komposisi maupun konsentrasinya yang dibutuhkan tanaman akan sangat
bervariasi tergantung pada jenis tanaman, fase pertumbuhan serta kondisi
lingkungannya (Marvel 1974). Menurut Chong dan Ito (1982), suhu larutan pada
sistem NFT (“Nutrient Film Technique”) mempengaruhi jumlah larutan nutrisi yang
dikonsumsi oleh tanaman tomat. Dalam keadaan suhu kamar di musim panas,
pemberian larutan nutrisi sebanyak 2 liter per tanaman per hari pada fase
reproduktif cukup memadai untuk tanaman tomat.
Selanjutnya aplikasi larutan nutrisi pada kultur
hidroponik secara prinsip juga tergantung pada metode yang akan diterapkan.
Beberapa metode tersebut antara lain adalah sebagai yang tertera pada uraian
berikut ini (Jensen 1990).
1. Kultur pot atau polybag. Dengan metode ini sistem
pemberian larutan nutrisi dapat dilakukan secara manual atau irigasi tetes
(“drip irrigation”) dengan frekuensi 3-5 kali per hari, tergantung pada
kebutuhan tanaman, macam media tumbuh, dan cuaca/kondisi lingkungan. Sistem irigasi
tetes lebih mudah, menghemat tenaga dan waktu, tetapi kendalanya adalah saluran
irigasi sering tersumbat sehingga aliran nutrisi terhambat.
2. Kultur bedeng dengan sistem NFT. Sistem pemberian
larutan nutrisi yang digunakan adalah melalui perputaran aliran larutan nutrisi
yang dibantu oleh pompa mesin atau dapat pula menggunakan cara yang lebih
sederhana (tanpa pompa) yaitu menggunakan gaya grafitasi.
Tabel 1. Jenis garam yang rekomendasikan
untuk pembuatan larutan nutrisi hidroponik
Nama unsur
|
Sumber garam
|
Kandungan
|
Nitrogen
Fosfor
Kalium
Magnesium
Kalsium
Sulfur
Besi
Mangan
Boron
Seng
Tembaga
Molibdenum
|
Kalsium
nitrat
Kalium
nitrat
Amonium
nitrat
Monokalium
fosfat
Kalium
nitrat
Monokalium
fosfat
Kalium
sulfat
Magnesium
sulfat
Kalsium
nitrat
Kalsium
klorida
Magnesium
sulfat
Kalium
sulfat
Fe-EDTA
Fe-EPTA
Mangan
sulfat
Asam
borat
Sodium
borat (Borax)
Zinc
sulfat
Zinc
EDTA
Copper
sulfat
Copper
EDTA
Amonium
molibdat
|
15.5
% N
(1
% NH4-N)
13
% N
33
% N
21
% P
37
% K
25
% K
40
% K
10
% Mg
20
% Ca
36
% Ca
13
% S
18
% S
6-14
% Fe
-
24
% Mn
18
% B
11
– 14 % B
23
% Zn
*%
25
% Cu * %
48
% Mo
|
Keterangan : *% = seperti pada Fe-EDTA
sangat bervariasi
Sumber: Anonim (2014)
2.1.3. EC dan
pH Larutan
Kunci
utama dalam pemberian larutan nutrisi atau pupuk pada sistem hidroponik adalah
pengontrolan konduktivitas elektrik atau “electro conductivity” (EC) atau
aliran listrik di dalam air dengan menggunakan alat EC meter. EC ini untuk
mengetahui cocok tidaknya larutan nutrisi untuk tanaman, karena kualitas
larutan nutrisi sangat menentukan keberhasilan produksi, sedangkan kualitas
larutan nutrisi atau pupuk tergantung pada konsentrasinya.
Semakin
tinggi garam yang terdapat dalam air, semakin tinggi EC-nya. Konsentrasi garam
yang tinggi dapat merusak akar tanaman dan mengganggu serapan nutrisi dan air
(Hochmuth dan Hochmuth 2003). Setiap jenis dan umur tanaman membutuhkan larutan
dengan EC yang berbeda-beda. Kebutuhan EC disesuaikan dengan fase pertumbuhan,
yaitu ketika tanaman masih kecil, EC yang dibutuhkan juga kecil. Semakin
meningkat umur tanaman semakin besar EC-nya.
Toleransi
beberapa tanaman sayuran terhadap EC larutan berlainan. Tanaman tomat tahan
terhadap garam yang agak tinggi di daerah perakaran, sedangkan mentimun sedikit
tahan. Untuk mendapatkan hasil yang baik, larutan nutrisi untuk tomat perlu
dipertahankan pada keadaan EC antara 2,0 –3,0 mhos/cm (van Pol 1984).
Konsentrasi garam yang tinggi pada fase akhir pertumbuhan tanaman tomat akan
meningkatkan kualitas buah (total padatan terlarut) tanpa mengurangi produksi.
Kebutuhan
EC juga dipengaruhi oleh kondisi cuaca, seperti suhu, kelembaban, dan
penguapan. Jika cuaca terlalu panas, sebaiknya digunakan EC rendah. Selain EC,
pH juga merupakan faktor yang penting untuk dikontrol. Formula nutrisi yang
berbeda mempunyai pH yang berbeda, karena garam-garam pupuk mempunyai tingkat
kemasaman yang berbeda jika dilarutkan dalam air. Garam garam seperti
monokalium fosfat, tingkat kemasamannya lebih rendah daripada kalsium nitrat (
Bugbee 2003).
Untuk
mendapatkan hasil yang baik, pH larutan yang direkomen-dasikan untuk tanaman
sayuran pada kultur hidroponik adalah antara 5,5 sampai 6,5 (Marvel 1974).
Ketersediaan Mn, Cu, Zn, dan Fe berkurang pada pH yang lebih tinggi, dan
sedikit ada penurunan untuk ketersediaan P, K , Ca dan Mg pada pH yang lebih
rendah. Penurunan ketersediaan nutrisi berarti penurunan serapan nutrisi oleh
tanaman.
Tabel 2 Menyajikan kebutuhan
EC dan pH bagi beberapa tanaman sayuran.
Jenis sayuran
|
EC (mS/cm)
|
pH
|
Brokoli
Kacang-kacangan
Tomat
Brussel
sprouts
Radish
Bawang
merah
Turnip
Kubis
bunga
Mentimun
Bawang
daun
Labu
Bayam
|
3,0 – 3,5
2,0 –4,0
2,0 – 5,0
2,5 – 3,0
1,4 – 1,8
2,0 – 3,0
1,8 – 2,4
1,5 – 2,0
1,0 – 2,5
2,0 – 3,0
1,7 – 2,6
1,4 – 1,8
|
6,0 – 6,5
6,5
6,0
6,5
6,5
6,0
6,0
5,5 – 6,6
6,5
6,5
5,5
6,5
|
Sumer. Anonom,2014
2.2. Media Pertumbuhan
Seperti yang telah
dikemukakan pada bab sebelumnya, hidroponik merupakan teknologi penanaman dalam
larutan nutrisi (air dan pupuk) dengan atau tanpa penggunaan media buatan untuk
mendukung perakaran tanaman (Jensen 1990). Media hidroponik dikelompokkan ke
dalam dua kelompok, yaitu kultur air yang tidak menggunakan media pendukung
lain untuk perakaran tanaman dan kultur substrat atau agregat yang menggunakan
media padat untuk mendukung perakaran tanaman.
2.2.1. Kultur Air
Pada dasarnya kultur air
merupakan sistem tertutup (“closed system”) di mana akar tanaman terekspos
larutan nutrisi tanpa media tanaman dan larutan disirkulasi. Ada beberapa macam
sistem hidroponik cair atau kultur air, yaitu Nutrient Film Technique (NFT),
Dynamic Root Floating (DRF), the Deep Flow Technique (DFT) dan Aeroponic
(Jensen 1990; Jensen dan Collins 1985; Kao 1990). Namun kultur air yang paling
mudah untuk diadopsi oleh para pengguna adalah NFT (Raffar 1990; Chow 1990).
Kultur tersebut juga banyak digunakan oleh para pengusaha di Indonesia.
Nutrient Film Technique
dikembangkan oleh Dr. Allen Cooper pada tahun 1970 di Inggris, yang bertujuan
untuk meningkatkan produktivitas sayuran sepanjang tahun. Pada sistem ini,
lapisan tipis larutan nutrisi mengalir melalui bedengan atau talang yang berisi
akar-akar tanaman. Larutan bersirkulasi secara terus menerus selama 24 jam atau
diatur pada waktu-waktu tertentu dengan pengatur waktu. Sebagian akar tanaman
terendam dalam larutan nutrisi tersebut, sebagian lagi berada di atas permukaan
larutan. Lingkungan akar yang ideal merupakan faktor penting dalam peningkatan
produksi tanaman.
Menurut Chow (1990) dan
Jensen (1990), keuntungan NFT antara lain adalah volume larutan hara yang
dibutuhkan lebih rendah dibandingkan kultur air lainnya, lebih mudah mengatur
suhu di sekitar perakaran tanaman (menaikkan atau menurunkan suhu), lebih mudah
mengontrol hama dan penyakit, kepadatan tanaman per unit area lebih tinggi, dan
hasil tanaman lebih bersih karena tidak ada sisa tanah atau media lainnya.
Namun, ada juga kerugian dari sistem ini, yakni patogen dengan mudah menyebar
pada seluruh larutan, sehingga dalam waktu yang singkat tanaman akan mati,
modal awal relatif lebih mahal, pemilihan komoditas yang bernilai tinggi, dan
tingkat keahlian dan pengetahuan tentang ilmu kimia sangat penting.
Di daerah tropis, panjang
maksimum bak penanaman yang digunakan pada NFT tidak lebih dari 15-20 m,
sepanjang saluran tersebut dibuat 2-3 tempat untuk memasukkan larutan hara, dan
suhu larutan tidak lebih dari 30 °C. Hal ini untuk menjaga aerasi larutan yang
baik (Jensen 1990). Hasil penelitian di Malaysia melaporkan bahwa penggunaan
PVC sebagai bak penanaman tidak cocok untuk daerah tropis, karena menyebabkan
suhu perakaran mencapai lebih dari 40 °C pada tengah hari (Chow 1990). Bahan
yang paling baik adalah bambu dengan “styrofoam” sebagai penutup permukaan bak.
2.2.2. Kultur Substrat atau Agregat
Kultur substrat atau agregat
adalah kultur hidroponik dengan menggunakan media tumbuh yang bukan tanah
sebagai pegangan tumbuh akar tanaman dan mediator larutan hara. Pada umumnya,
pemberian larutan dilakukan dengan sistem terbuka (“open system”), artinya
larutan yang diberikan ke tanaman tidak digunakan lagi (Kultur ini merupakan
sistem yang paling mudah diadopsi selain sistem NFT (Raffar 1990) dan tampaknya
merupakan salah satu sistem yang banyak dikembangkan para petani/pengusaha
agrobisnis di Indonesia. ( Sapto
Wibowo dan Arum Asriyanti S, 2013 )
Beberapa pakar hidroponik
mengemukakan bahwa media pertumbuhan seperti pasir, kerikil, batuan alam, arang
sekam, atau batu apung dapat digunakan. Di Amerika banyak digunakan media
gravel, perlite, rockwool, pasir, serbuk gergaji, peat moss atau vermikulit
(Douglas 1985; Jensen 1990; Resh 1985). Beberapa persyaratan penting bagi media
pertumbuhan ini antara lain adalah bertekstur seragam dengan ukuran butir
sedang, bersih dari kotoran, dan steril (Resh 1985; Douglas 1985). Bentuk
karakteristik media tersebut akan berpengaruh terhadap hasil dan kualitas serta
terhadap kebutuhan larutan hara tanaman. Oleh karena itu pemilihan media yang
tepat dapat meningkatkan produksi sayuran.
Di Indonesia, media agregat
yang baik dan murah adalah arang sekam. Media ini sudah banyak digunakan oleh
para petani hidroponik maupun pengusaha hidroponik yang besar. Selain arang
sekam, pasir juga sangat baik untuk media hidroponik. Harga pasir lebih mahal
tetapi umur penggunaannya lebih lama. Menurut Jensen (1975), hasil penelitian
pada tomat media pasir juga menunjukkan keunggulan yang lebih baik daripada
“rockwool”. Campuran pasir dengan “peat moss”, vermikulit, arang sekam, dan
perlite juga menghasilkan pertumbuhan tomat yang baik.
2.3 Selada
(Lactuca sativa L)
Selada (Lactuca sativa L.) merupakan sayuran daun
yang berumur semusim dan termasuk dalam famili compositae. Selada tumbuh baik
di dataran tinggi, pertumbuhan optimal di lahan subur yang banyak mengandung
humus, pasir atau lumpur.dengan pH tanah 5-6,5 Di dataran
rendah
kropnya kecil-kecil dan cepat berbunga. Waktu tanam terbaik pada akhir musim
hujan, walaupun demikian dapat ditanam pada musim kemarau dengan pengairan atau
penyiraman yang cukup.
Menurut para vegetarian, manfaat sayur tidak hanya
membuat tubuh sehat karena tidak terjadi timbunan lemak hewan, tetapi juga
berkhasiat untuk menghaluskan kulit. Sebagian besar tanaman sayur yang tersedia
dipasar merupakan produk budidaya pertanian moderen yang dari segi kesehatan
sebenarnya kurang layak untuk dikonsumsi.( Syafri Edi & Ahmad Yusri, 2009)
Keberhasilan budidaya tanaman selada dikendalikan oleh
faktor-faktor pertumbuhan yang meliputi faktor genetik dan faktor lingkungan.
Faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman selada, salah
satunya ialah tingkat kerapatan tanaman. Tingkat kerapatan tanaman perlu diatur
agar tidak mengganggu pertumbuhan tanaman. Perbedaan jarak tanam menyebabkan
pertumbuhan dan hasil yang berbeda, karena dengan penerapan jarak tanam yang
terlalu rapat dapat menimbulkan kompetisi antar tanaman. Kompetisi terjadi untuk
memperoleh kebutuhan hidup tanaman seperti cahaya matahari, nutrisi, air dan
ruang tumbuh. Penggunaan jarak tanam yang tepat dapat meningkatkan produksi per
satuan luas.
Faktor genetik yang mempengaruhi ialah jenis kultivar
yang ditanam. Kultivar mempengaruhi hasil panen tanaman selada per satuan luas
lahan. Potensi hasil panen maksimal dapat tercapai apabila kultivar yang
digunakan dapat beradaptasi dengan baik terhadap lingkungannya. Kondisi
lingkungan yang beragam memerlukan penerapan teknologi budidaya yang spesifik
dalam meningkatkan produksi tanaman. Penerapan teknologi yang banyak digunakan
ialah tingkat kerapatan tanaman dengan jarak tanam yang disesuaikan dengan
karakteristik kultivar yang digunakan.( Nujulul, 2009 ).
2.3.1
Botani Tanaman
Klasifikasi
tanaman selada ( Lactuca sativa L ) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisio :
Spermatophyta
Subdivisio :
Angiospermae
Kelas :
Dicotyledoneae
Ordo :
Asterales
Famili :
Asteraceae
Genus :
Lactuca
Spesies : Lactuca
sativa L.
Tanaman selada memiliki sistem perakaran tunggang dan
serabut. Akar serabut menempel pada batang, tumbuh menyebar, ke semua arah pada
kedalaman 20-50 cm atau lebih. Sebagian besar unsur hara yang dibutuhkan
tanaman diserap oleh akar serabut. Sedangkan akar tunggangnya tumbuh lurus ke
pusat bumi (Rukmana, 1994).
Daun selada memiliki bentuk, ukuran dan warna yang
beragam, bergantung varietasnya. Daun selada krop berbentuk bulat dengan ukuran
daun yang lebar, berwarna hijau terang dan hijau agak gelap. Daun selada
memiliki tangkai daun lebar dengan tulang daun menyirip. Tangkai daun bersifat
kuat dan halus. Daun bersifat lunak dan renyah apabila dimakan, serta memiliki
rasa agak manis. Daun selada umumnya memiliki ukuran panjang 20-25 cm dan lebar
15 cm (Wicaksono, 2008).
Tanaman selada memiliki batang sejati. Batang selada krop
sangat pendek dibanding dengan selada daun dan selada batang. Batangnya hampir
tidak terlihat dan terletak pada bagian dasar yang berada di dalam tanah.
Diameter batang selada krop juga lebih kecil yaitu berkisar antara 2-3 cm
dibanding dengan selada batang yang diameternya 5,6-7 cm dan selada daun yang
diameternya 2-3 cm (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998).
2.3.2
Teknologi Budidaya
2.3.2.1.
Benih
Jenis selada yang banyak dibudidayakan :
a. Selada
mentega disebut juga dengan selada bokor atau selada daun, bentuk kropnya bulat
tapi lepas.
b. Selada
(heading lettuce) atau selada korp, bentuk korp bulat dan lonjong,
kropnya padat atau kompak.
c. Kebutuhan
benih + 400 g biji / hektar.
2.3.2.2.
Pengolahan Lahan
Lahan terlebih dahulu dicangkul sedalam 20-30 cm supaya
gembur. Selanjutnya dibuat bedengan membujur dari Barat ke Timur, untuk
mendapatkan cahaya penuh. Lebar bedengan 100 cm, tinggi 30 cm dan panjang
sesuai lahan. Jarak antar bedeng 30 cm. Lahan yang asam (pH rendah) lakukan
pengapuran dengan kapur kalsit atau dolomit. (Syafri Edi & Ahmad Yusri,
2009)
Selada dapat tumbuh di dataran tinggi maupun dataran
rendah. Namun, hampir semua tanaman selada lebih baik diusahakan di dataran
tinggi. Pada penanaman di dataran tinggi, selada cepat berbunga. Suhu optimum
bagi pertumbuhannya adalah 15-20o C.
Daerah - daerah yang dapat ditanami selada terletak pada
ketinggian 5-2.200 meter di atas permukaan laut. Selada krop biasanya membentuk
krop bila ditanam di dataran tinggi, tapi ada beberapa varietas selada krop
yang dapat membentuk krop di dataran rendah seperti varietas great lakes dan
Brando.
Tingkat kemasaman tanah (pH) yang ideal untuk pertumbuhan
selada adalah berkisar antara 6,5-7. Pada tanah yang terlalu asam, tanaman ini
tidak dapat tumbuh karena keracunan Mg dan Fe.( USU )
2.3.2.3.
Persemaian
a. Biji
dapat langsung ditanam di lapangan,
tetapi lebih baik disemaikan.
b. Sebelumnya,
benih direndam dalam air hangat
(50ºC) selama satu malam atau dalam
larutan Previcur N ( 0,1 %) selama
+ 2 jam kemudian dikeringkan.
c. Benih
disebar merata pada bedengan persemaian
dengan media campuran tanah
dan pupuk kandang/kompos (1:1),
kemudian ditutup dengan daun pisang selama 2-3 hari dan diberi naungan/atap
d. Setelah
berumur 7-8 hari, bibit dipindahkan
ke dalam bumbunan yang terbuat
dari daun pisang/pot plastik dengan
media yang sama. (Syafri Edi & Ahmad Yusri, 2009)
2.3.2.4. Penanaman
Setelah berumur 3-4 minggu atau sudah memiliki 4-5 helai
daun tanaman dapat dipindahkan ke bedengan yang sudah dipersiapkan dengan jarak
tanam 20 x 20 cm atau 25 x 25 cm. (Syafri
Edi & Ahmad Yusri, 2009)
2.3.2.5. Pemupukan
a. 3
hari sebelum tanam berikan pupuk kandang
kotoran ayam 20.000 kg/ha atau
pupuk kompos organik hasil fermentasi
(kotoran ayam yang telah difermentasi)
dengan takaran 4 kg/m2.
b. Pada
umur 2 minggu setelah tanam lakukan
pemupukan susulan Urea 150 kg/ha
(15 gr/m2) agar pemberian pupuk lebih
merata pupuk Urea diaduk dengan
pupuk organik kemudian diberikan
secara larikan disamping barisan
tanaman.
c. Selanjutnya
dapat ditambahkan pupuk cair
3 liter/ha (0,3 ml/m2) pada umur 10 dan
20 hari setelah tanam.
2.3.2.6. Pemeliharaan
Penyiraman dilakukan tiap hari sampai selada tumbuh
normal, kemudian diulang sesuai kebutuhan. Jika ada tanaman yang mati, segera
disulam sebelum tanaman berumur 15 hari. Penyiangan dan pendangiran dilakukan
bersamaan dengan waktu pemupukan pertama dan kedua.
2.3.2.7. Pengendalian Organisme
Pengganggu Tumbuhan (OPT)
Penyakit yang sering menyerang tanaman selada yaitu
bercak hitam daun dan cacar daun. Hama yang sering ditemui adalah ulat daun,
belalang, dan nyamuk kecil bila keadaan lembab. Pengendalian hama dapat
dilakukan secara mekanik yaitu dipungut dengan tangan, jika terpaksa gunakan
pestisida yang aman mudah terurai seperti pestisida biologi, pestisida nabati
atau pestisida piretroid sintetik.
Penggunaan pestisida tersebut harus dilakukan dengan
benar baik pemilihan jenis, takaran, volume semprot, cara aplikasi, interval
dan waktu aplikasinya. (Edi, Syafri
& Ahmad Yusri, 2009)
2.3.2.8. Panen
Selada dapat dipanen setelah berumur + 2 bulan, dengan
mencabut batang tanaman atau memotong pangkal batang. Tanaman yang baik dapat
menghasilkan + 15 ton/ha.
2.3.2.9. Pasca Panen
Untuk
menjaga kualitasnya, dengan cara merendam bagian akar tanaman dalam air dan
pengiriman produk secepat mungkin. (Syafri Edi & Ahmad Yusri, 2009)
2.4 Zat
Pengatur Tumbuh
Zat pengatur tumbuh (ZPT) dapat diartikan
sebagai senyawa organic selain zat hara yang dalam jumlah sedikit mendukung,
menghambat maupun merubah berbagai proses fisiologis tanaman. ZPT adalah salah
satu bahan sintesis atau hormon tumbuh yang mempengaruhi proses pertumbuhan dan
perkembangan tanaman melalui pembelahan sel, perbesaran sel. Pengaturan
pertumbuhan ini dilaksanakan dengan cara pembentukan hormon-hormon,
mempengaruhi system hormon, perusakan translokasi atau dengan perubahan tempat
pembentukan hormon (Hartmann dan Kester 1983). ZPT di dalam tanaman terdiri
dari 5 kelompok Auksin, Gibberalin, Sitokinin, Ethylene dan Inhibitor (Abidin
1984). Hormon yang dihasilkan oleh tanaman disebut fitohormon sedangkan yang
sintetis disebut ZPT (Wattimena1988).
2.4.1 Dendrocalamus
asper (schult-f) Backer ex Heyne ( Bambu Betung)
Bambu adalah sekelompok tumbuhan yang dicirikan
oleh buluh yang berkayu mempunyai ruas-ruas dan buku-buku. Termasuk dalam suku
rumputrumputan (Graminae) anak suku Bambusideae (Farelly 1984 diacu dalam Elida
2002). Benton (1970) diacu dalam Elida (2002) berpendapat bahwa, bagian dalam batang
bambu tersusun dari senyawa silika yang amorf yang mempunyai sifatsifat sebagai
katalis dalam reaksi kimia tertentu. Bambu betung dalam bahasa Inggris disebut
juga Giant bamboo, awi betung (Sunda), buluh batung (Batak), juga dikenal
dengan nama daerah Batuang Gadang. Tersebar di Sumatera, Jawa Timur, Sulawesi
Selatan, Seram dan Papua. Di Jawa, bambu betung dapat ditanam di dataran rendah
sampai ketinggian 2000 m diatas permukaan laut.
Bambu dapat tumbuh pada banyak jenis tanah,
namun akan lebih baik pada tanah berat dengan drainase yang baik. Menurut Heyne
(1987) diacu dalam Ruhiyat (1998) bambu betung mempunyai rumpun yang agak
rimbun, tinggi buluhnya mencapai 30 m, diameter 8,5 – 20 cm. Buku-bukunya
membengkak, dengan panjang 40-60 cm dan tebal dinding antara 1-1,5 cm. Bambu
ini banyak digunakan untuk kontruksi bangunan,
tempat air dan bumbung untuk menampung nira. Tunas muda atau
rebung mempunyai rasa manis, dan banyak dibuat untuk sayur.
2.4.2.1
Batang, Pelepah Batang dan Daun
Type simpodial, merumpun yang terdiri dari
beberapa batang saja, batang tegak dengan ujung melengkung. Tinggi 20-30 m,
diameter 8-20 cm, tebal 11-3 mm. Panjang ruas 10-20 cm (bagian bawah) sampai
30-50 cm (bagian atas). Buku-bukunya menggelembung, buku dekat pangkal batang
mempunyai akar udara. Batang muda berbulu warna coklat keemasan. Ukuran 20-40
cm X 20-25 cm, bagian bawah sangat kecil, tertutup bulu cokelat tua sampai
cokelat muda, pelepah melancip keujung (lanceolate), lidah pelepah
batang (ligule) panjang 10 cm. Helaian daun ukuran 30 cm X 2,5 cm,
bagian dasar pendek, membesar diatas, berbulu, lidah daun pendek, tidak
mempunyai telinga daun (auricle).
Bambu betung memiliki potensi ekonomi dan
kegunaan yang banyak di masyarakat Indonesia. Batang bambu betung baik untuk
furniture dan industry chopstick. Batang bambu betung sangat tebal dan
kuat sehingga sering dipakai sebagai bahan bangunan atau jembatan. Ruas dari
buku bagian atas yang panjang dipakai sebagai tempat nira juga tempat menanak
nasi atau daging seperti didaerah Sarawak. Di Thailand Dendrocalamus asper dikenal
dengan sebutan “sweet bamboo” rebung mudanya sangat manis dan tebal,
dapat dikonsumsi sebagai sayuran dan acar (Dransfield dan Widjaja, 1995).
2.4.2.2
Rebung
Rebung adalah nama umum bagi terubus bambu
yang baru tumbuh dan berasal dari batang bawah. Rebung yang baru keluar
berbentuk lonjong, kokoh, dan terbungkus dalam kelopak daun yang rapat dan
bermiang (duri-duri halus) banyak. Selama musim hujan, rebung bambu tumbuh
dengan pesatnya, dalam beberapa minggu saja tunas tersebut sudah sudah tinggi.
Dalam waktu 9-10 bulan rebung telah mencapai tinggi maksimal 25-30cm. Beberapa
jenis rebung terbentuk pada permulaan musim hujan, selain itu ada yang
terbentuk pada akhir musim hujan. Musim panen rebung biasanya jatuh sekitar
bulan desember hingga februari atau maret.
Pada tahap awal rebung terlihat pendek,
terbungkus dalam pelepah batang yang rapat dan bermiang dengan warna miang
coklat sampai kehitaman. Rebung tumbuh cepat menjadi batang bambu muda selama
musim hujan. Setelah mencapai pertumbuhan maksimum, seludang buluh membuka dan
diikuti dengan tumbuhnya primordial tunas lateral sebagai bakal cabang.
Percabangan tumbuh mulai dari 1/3 buku bagian atas diikuti percabangan dibagian
tengah buluh terus ke bagian bawah, percabangan bambu betung termasuk kelompok
banyak cabang (bud multiple branching), (McClure 1967 diacu dalam
Ruhiyat 1998) yang dapat
mencapai 10-20 anak cabang dalam satu buku. Mata cabang dalam
buluh terdiri dari mata cabang yang besar di bagian tengah (central bud)
dan kelompok mata cabang yang lebih kecil di kiri kanannya.
Rebung bambu merupakan makanan khas dari Asia
Bagian Timur. Rebung Bambu muda memiliki bentuk seperti taring badak. Beberapa
rebung diantaranya dapat dikonsumsi manusia, namun ada juga yang tidak bisa
dikonsumsi manusia karena memiliki rasa pahit seperti rebung dari bambu apus.
Menurut Winarno (1992) diacu dalam Salahudin (2004) jenis rebung bambu apus
dapat menyebabkan orang menjadi mabuk karena mengandung kadar asam sianida yang
tinggi.
Beberapa jenis rebung juga mengandung senyawa
toksik sianida dalam bentuk glukosida. Bila senyawa ini bereaksi dengan air
maka akan terbentuk asam sianida. Asam sianida dapat dikeluarkan dari rebung
mentah dengan merusak jaringan rebung melalui proses pemasakan (Yaguchi dan Wu
1971 diacu dalam Salahudin 2004). Kadar asam sianida dalam rebung dapat
mencapai 800 mg setiap 100 gram (Wogan 1976 diacu dalam Salahudin 2004). Rasa
pahit mungkin berhubungan dengan kandungan glukosida tersebut.
2.4.2.3
Komposisi Kimia Rebung Bambu Betung
Komposisi rebung mentah per 100 gram bagian
yang dapat dimakan dapat dilihat pada Tabel 3. Sebagian besar dari bagian yang
dapat diamakan terdiri dari air yaitu 91 gram, selain itu rebung juga
mengandung protein 2,6 gram, karbohidrat 5,20 gram, lemak 0,90 gram, serat
kasar 1,00 gram, vitamin A 20 SI, kalium 533 mg, fosfor 53 mg, abu 0,90 mg
serta unsur-unsur mineral lain seperti riboflavin, niasin, thiamin, kalsium,
dan besi dalam jumlah kecil (Watt dan Merill 1975 diacu dalam Salahudin 2004).
Tabel 3.
Komposisi rebung mentah per 100 gram bagian yang dapat dimakan
Komposisi
|
Jumlah
|
Protein
(gram)
|
2,60
|
Kalori
(cal)
|
27,00
|
Lemak
(gram)
|
0,30
|
Karbohidrat
(gram)
|
5,20
|
Serat
(gram)
|
1,00
|
Air
(gram)
|
91,00
|
Fosfor
(mg)
|
59,00
|
Kalsium
(mg)
|
13,00
|
Besi
(mg)
|
0,50
|
Abu
(gram)
|
0,90
|
Kalium
(mg)
|
533,00
|
Vitamin
A (SI)
|
20,00
|
Thiamin
(mg)
|
0,15
|
Riboflavin
(mg)
|
0,70
|
Niasin
(mg)
|
0,60
|
Vitamin
B1 (mg)
|
0,15
|
Vitamin
C (mg)
|
4,00
|
Sumber : Watt dan Merill (1975)
Pada rebung, kandungan serat berbeda pada
setiap bagiannya. Bagian atas kandungan seratnya lebih kecil dibandingkan pada
bagian bawah. Tetapi kandungan kimia seperti protein, lemak dan mineral pada
bagian atas lebih tinggi dari pada bagian bawah (Tabel 4).
Tabel 4
Persentase komposisi rebung bagian atas, tengah dan bawah yang dapat dimakan.
Bagian
|
Air
|
Protein
|
Lemak
|
Serat
|
Karbohidrat
|
Abu
|
Atas
|
89,7
|
2,72
|
0,28
|
0,42
|
5,50
|
1,39
|
Tengah
|
91,26
|
1,71
|
0,22
|
0,89
|
4,78
|
1,12
|
Bawah
|
90,26
|
1,38
|
0,17
|
1,25
|
5,65
|
0,93
|
Sumber : Kurosawa,
1969
Bagian tengah, atas dan bawah memiliki histologis
yang berbeda. Bagian ujung atas mengandung lemak 800 mg/100gram rebung segar.
Asam lemak utama adalah palmitat, linolenat dan linoleat. Asam organik dalam
rebung bambu dari jenis Dendrocalamus asper adalah asam oksalat yaitu
462 mg/100mg pada bagian dasarnya. Asam sitrat lebih banyak di bagian atas
sedangkan bagian bawah banyak mengandung asam malat.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Mathla’ul Anwar Banten.
Pelaksanaan penelitian dilakukan selama 2 bulan, dimulai dari bulan September
sampai dengan bulan November 2014.
3.2 Bahan
dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah hasil arang sekam, rebung bambu betung yang didapat dari hutan di
daerah Sobang, dan benih selada yang diperoleh dari pasar Sobang. Peralatan
yang digunakan selama penelitian berlangsung adalah karung, polybag, blender,
saringan, timbangan analitik, alat tulis, label, cangkul, thermometer, ayakan,
pisau, sprayer, kompor gas, panci, ember, gelas ukur, corong, dan kamera
digital.
3.3
Metode Penelitian
Penelitian ini meliputi berbagai tahapan seperti diuraikan di
bawah ini.
3.3.1
Penyiapan Benih Selada
Benih selada yang digunakan dalam penelitian
ini, diperoleh dari pasar Sobang Banyaknya benih yang digunakan disesuaikan
dengan sample yang dibutuhkan.
3.3.2
Pengecambahan Benih
Benih selada yang diperoleh dari pasar Sobang
direndam dalam air hangat selama selama 24 jam.
Sebelum ditabur ke bak kecambah, benih dicuci bersih dengan air
dingin agar bersih dari bakteri atau kotoran lainnya. Media pertumbuhan yang
digunakan adalah arang sekam yang sudah diayak dan telah dijemur dibawah terik
sinar matahari. Benih ditabur pada media arang sekam, lalu diamati
pertumbuhannya selama 2 Bulan.
.
3.3.3
Penyiapan Media Sapih
Polybag berukuran 15 cm x 20 cm diisi arang
sekam. Setelah semua media tumbuh terisi tanah dilakukan penyiraman agar kelembaban
arang sekam dapat terjaga.
3.3.4
Penyiapan Zat Ekstraktif Rebung
Rebung sebanyak satu kilogram dicacah,
kemudian ditambahkan dengan 1 liter air dan direbus hingga matang. Rebung
matang dan air rebung di blender serta ditambahkan 1 liter air matang, setelah
itu diperas dan dilakukan penyaringan dengan menggunakan saringan untuk
memisahkan air ekstrak rebung dengan limbah padat. Larutan air ekstrak rebung
bambu betung yang diperoleh sebanyak 2,2 liter yang kemudian digunakan sebagai
bahan dasar untuk penyiraman sesuai dengan dosis perlakuan.
3.3.5
Penyapihan
Setelah kecambah berumur 7-8 hari, kemudian
dilakukan penyapihan pada media tumbuh yang berisi tanah sub soil. Bibit selada
siap diberi perlakuan seminggu setelah penyapihan.
3.3.6
Pemberian Air Ekstrak Rebung
Bibit sengon disiramkan air ekstrak rebung
bambu betung dengan dosis 0 ml/bibit sebagai kontrol, 10 ml/bibit, 20 ml/bibit,
30ml/bibit, 40ml/bibit, dan 50 ml/bibit per bibit pada setiap taraf perlakuan.
Penyiraman tersebut dilakukan setiap minggu selama dua bulan penelitian.
3.3.7
Pemeliharaan
Pemeliharaan dilakukan untuk memberikan
kondisi yang baik bagi tanaman selada dalam proses pertumbuhan. Kegiatan yang
dilakukan yaitu penyiraman dan pengendalian hama dan penyakit. Penyiraman
dilakukan 2 kalisehari yaitu pagi dan sore. Pengendalian hama dan penyakit
dilakukan satu minggu sekali dengan membersihkan media tumbuh dan mengamati
kesehatan tanaman selada.
3.3.8
Pengamatan dan Pengambilan Data
Pengukuran tinggi dilakukan setiap seminggu
sekali selama tiga bulan dengan menggunakan penggaris 30 cm. Pengukuran tinggi
dimulai dari pangkal/leher akar sampai titik tumbuh. Pengukuran diameter
dilakukan pada awal dan akhir penelitian dengan menggunakan kaliper Nisbah
Pucuk Akar (NPA) ditentukan dengan membandingkan berat kering bagian semai di
atas tanah dan akar semai.
Pengukuran nisbah pucuk akar dilakukan dengan
mengambil sampel pucuk dan akar semai dengan cara mengoven semai yang telah
dipisah pucuk dan akar pada suhu 700 C selama 72 jam kemudian dilakukan penimbangan. Berat Kering Total
(BKT) merupakan gabungan berat kering pucuk dan akar.
3.4 Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 6 perlakuan, ulangan
3 kali, dan setiap unit perlakuan terdapat 10 bibit. Sehingga secara
keseluruhan terdapat 180 bibit sengon. Perlakuan yang digunakan adalah dosis ekstrak
rebung bambu : A0 = 0 ml (kontrol) ; A1 = 10 ml ; A2 = 20 ml ; A3 = 30 ml ; A4
= 40 ml ; A5 = 50 ml.
Model persamaan umum rancangan penelitian ini adalah sebagai
berikut (Mattjik dan Sumertajaya, 2000).
Keterangan :
Yij = Nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
μ = Rataan umum
τi = Pengaruh perlakuan ke-i
εij = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke-j
Hipotesis
dalam uji F adalah sebagai berikut :
H0 :
perlakuan tidak berpengaruh terhadap parameter yang diamati
H1 :
perlakuan berpengaruh terhadap parameter yang diamati
Pengambilan
keputusan terhadap uji F adalah :
Fhitung
> Ftabel tolak H0
Fhitung
< Ftabel terima H0
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang
diberikan terhadap peubah yang diamati, maka dilakukan analisis data dengan
menggunakan program Minitab versi 13 dan program SAS 9. Apabila pengaruh
yang diberikan menunjukkan perbedaan
yang nyata maka dilanjutkan uji lanjut Duncan.
DAFTAR PUSTAKA
Bugbee, B. 2003. Nutrient management in recirculating
hydroponik culture. Paper presented at The South Pacific Soil-less Culture
Conference, Feb 11, 2003 in Palmerston North, New Zealand
Edi, Syafri dan Ahmad Yusri. 2009. Budidaya Selada Semi
Organik. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian.Jambi
Kristanti,
D.F. 2004. Pengaruh Pemberian Dosis Pupuk Azolla terhadap Pertumbuhan dan Hasil
Tanaman Selada Merah (Lactuca sativa L. var. crispa). Skripsi. Jur.
Budidaya Pertanian. Fak. Pertanian. Univ. Brawijaya. Malang
Laila
D. 2004. Dampak Pemberian Air Laut Terhadap Pertumbuhan Sengon (Paraserianthes
falcataria (L) Nielsen ) pada Media Tanah Gambut Tanpa Bakar dan Terbakar
[skripsi]. Bogor. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Rohmah,
Nuzulul. 2009. Respon Tiga
Kultivar Selada (Lactuca sativa l.) Pada Tingkat Kerapatan Tanaman Yang
Berbeda.Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas
Brawijaya. Malang
Rosliani, Rini dan
Nani Sumarni.2005. Budidaya
Tanaman Sayuran dengan Sistem Hidroponik. Balai Penelitian
Tanaman Sayuran Pusat Penelitian Dan Pengembangan
Hortikultura Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian. Bandung
Siregar
M dan Hartuningsih. 1995. Bambu betung (Dendrocalamus asper (schultesf.)
Bakerex Heyne). Vol.1 No.12. Lembaran Informasi Prosea-Yayasan Prosea,Bogor
Indonesia
Surtinah.2009. The Extention Of Super Natural Nutrition ( SNN
) The Organic Fertilizer To Lettuce ( Lactuca sativa, L ) at Ultisol Soil. Jurnal Ilmiah Pertanian Vol. 6. Halaman
20-25. Fakultas
Pertanian Unilak Pekanbaru
Wibowo, Sapto dan Arum Asriyanti S.2013. Application of NFT Hydroponic on
Cultivation of Pakcoy (Brassica rapa chinensis).
Jurnal Penelitian Pertanian Terapan
Vol. 13 (3): 159-167. Program Studi Agroteknologi Politeknik Banjarnegara.
Banjarnegara